Posted on

Kisah Si Miskin Yang Selalu Bersyukur

Sebuah gubuk berdinding bambu dan triplek bekas berukuran 3×3 meter, ditempati Darwis yang berumur 50 tahun bersama empat anaknya. Rumah beralas keramik bekas warna-warni itu, menjadi langganan banjir ketika air Kali Semajid di Kelurahan Gladak Anyar meluap. Ketinggian air terkadang sampai merendam separuh rumah Darwis. Darwis enggan pindah dari tempat itu. Sebab, ia mengaku tidak punya tanah untuk membangun rumah. Tanah yang ditempati saat ini, separuhnya milik warga yang berbelas kasihan kepada nasibnya. Separuhnya lagi merupakan bantaran sungai.

Saat ketua RT mengunjungi rumahnya di RT 2 RW 6 Kelurahan Gladak Anyar, Darwis sedang tidur di atas kasur kusut tanpa ranjang. Wajahnya pucat karena sedang tidak enak badan. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Anak bungsunya, Moh Rofi Mudarris yang berusia 9 tahun sedang tidak masuk sekolah. Ia menunggu Darwis di rumahnya. Tiga kakaknya, Boby Wahyudi yang berumur 20 tahun, Anis Romadona berumur 17 tahun, serta Nabila yang masih berusia 15 tahun sedang bekerja serabutan. Ketiga – tiga nya tidak melanjutkan sekolah ke tingkat SMA karena persoalan biaya. Gubuk kecil itu masih disekat menjadi dua kamar. Satu kamar ditempati Darwis dan Rofi. Satu kamar lagi ditempati Anis dan Nabila. Sedangkan anak sulungnya, Boby memilih tidur di sofa bekas di emper rumah. Lemari triplek bekas pemberian orang, disandarkan Darwis di emper rumah. Bagian bawahnya sudah terkikis rayap.

“Anak-anak sedang bekerja semua. Baru sore mereka pulang sambil bawa makanan,” ujar Darwis sambil merapikan kancing bajunya.

Selama tidak bekerja, Darwis menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya. Jika semuanya sedang tidak bekerja, semuanya pasrah kepada nasibnya masing-masing. Bahkan, anak bungsu Darwis, memilih tidur untuk mengurangi rasa lapar.

“Kalau saya lapar, kadang dibawa tidur biar tidak semakin lapar,” kata Rofi sambil mengelap sepeda barunya hasil pemberian Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan.

Rofi mengaku, paling sering diajak makan di rumah temannya kalau sudah pulang sekolah. Bagi Darwis, persoalan tempat tinggal bukan masalah penting. Anak – anak nya sudah terbiasa mandiri dalam keadaan miskin. Apalagi, sejak ditinggal sang istri dua tahun yang lalu. Ada sesuatu yang bisa di makan hari ini mereka syukuri. Kalau tidak ada, mereka mencarinya.

“Hidup saya seperti induk ayam dan anak nya. Kerja hari ini untuk makan hari ini,” ungkap Darwis. Jika ada tetangga Darwis rutin dapat bantuan beras miskin dari pemerintah, Darwis hanya mengelus dada. Sebab mau berteriak minta bantuan ke pemerintah, dia merasa malu sehingga memilih diam.

Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum terjamah tangan bantuan dari para kalangan atas yang memiliki harta berlimpah atau subsidi dari pemerintah, Pureheart berkomitmen dalam membantu setiap masyarakat Indonesia agar tidak harus hidup dalam kesulitan, Pureheart hadir dari berbagai macam permintaan warga kalangan bawah di Indonesia yang memerlukan bantuan donasi serta uluran tangan mereka yang mampu, bagaimana cara Pureheart membantu masyarakat Indonesia yang memerlukan, silahkan klik link berikut untuk lebih lengkapnya https://pureheart.ledgernow.com/.

Rodak sang pemilik tanah yang ditempati Darwis menceritakan, sudah puluhan tahun hidup Darwis sangat memprihatinkan. Sebagai tetangga dan sahabatnya, Rodak seringkali membantu Darwis. Darwis bukanlah sosok pemalas. Bahkan dia orang yang memiliki tanggung jawab dalam bekerja. Bahkan ketika salah satu anak nya sakit, Rodak membantu Darwis dalam memenuhi kebutuhan obat – obatan tersebut, untung nya Rodak sudah beberapa tahun belakangan ini bergabung dengan AELL.

AELL sebagai aplikasi berbasis blockchain yang membantu dan memudahkan masyarakat dalam proses administrasi rumah sakit, kemudahan akses pasien dan rumah sakit dalam melakukan proses administrasi menjadi satu dalam penggunaan aplikasi AELL. Untuk lebih lengkapnya bisa klik link berikut https://www.aell.co/.